Kemarin baru menceritakan kisah penguni kost HR yang berjuang untuk menyelamatkan diri. Sekarang kita akan melanjutkan kisah mereka. Kali ini bukan untuk menyelamatkan diri, namun untuk menyelamatkan kamar dan barang-barang mereka yang masih bisa diselamatkan. Ini jauh lebih susah dan rumit dari menyelamatkan diri.
Setelah semalaman menginap di rumah ibu kost, tiba saatnya bagi anak-anak kost HR untuk kembali ke kost tercinta yang entah sekarang sudah jadi apa. Selama dalam perjalanan mereka berusaha menguatkan diri untuk melihat akibat yang ditimbulkan oleh tamu tak diundang (read: banjir) semalam. Sesampainya di kosan, ternyata kondisinya tidak seperti yang mereka bayangkan. Ternyata kosan mereka...... Jauuuuuuuhhhh lebih paraaaahh dari yang mereka bayangkan. Sampah dan lumpur pun telah mengubur halaman kosan. Saat memasuki kosan, lantai keramik yang berwarna putih pun hilang, digantikan oleh lumpur dan sisa-sisa air banjir. COKELAT GELAP. Bahkan beberapa ubin pun terlepas terseret banjir. Sepanjang jalan lorong kos menuju kamar masing-masing, beberapa dari mereka masih menemukan barang mereka yang hanyut dan hijrah ke tempat lain dengan kondisi yang mengenaskan------> berlumuran lumpur.
Beberapa orang sudah memulai membersihkan kamar masing-masing. Sungguh tragis, karena air tidak hanya menggenangi kamar, namun ketinggiannya telah merendam lemari berserta isinya, rak-rak buku, tempat tidur, bahkan kasur pun tidak luput dari sentuhan air banjir. Makanan, gula, teh maupun beras tidak ada yang selamat. Bahkan kulkas dua pintu yang segitu gedenya dan isinya overload pun roboh diterjang banjir. Galon-galon aqua pun tersebar di mana-mana terseret banjir. Yang paling parah adalah buku-buku yang diterjang banjir berhamburan, terdampar, tersesat dan tersarang di mana-mana. Bahkan di salah satu depan kamar, ada kira-kira 10 pasang sepatu yang teronggok tak berdaya, menanti tuannya menyelamatkannya. Namun, sayang tuannya tak kunjung datang dan nasib mereka pun berakhir di tong sampah.
Semua barang yang masih bisa diselamatkan pun di kumpulkan terlebih dahulu. Semua yang ada di kamar dikeluarkan untuk mempermudah proses pengusiran lumpur. Semuanya bekerja ekstra keras untuk bisa membersihkan tempat tinggal mereka. Yang paling menyedihkan adalah beberapa dari mereka ada yang tidak memiliki baju termasuk u* karena terendam banjir bersama lemari. Bahkan buku-buku penting yang disimpan di rak bukupun tak selamat. Novel-novel fiksi yang sangat tebal, buku kuliah semuanya diselimuti oleh lumpur dan basah. Seharian penuh sampai petang mereka masih bekerja. Karena sudah malam, mereka menyudahi dulu pekerjaan mereka. Tapi itu pun baru sekitar 50%. Kamar pun belum siap ditempati lagi karena air masih terus merembes dari tanah dan membasahi lantai merkipun sudah dipel berkali-kali. kasur pun ada yang belum sempat dijemur. Yang paling menyedihkan adalah sumber air menjadi keruh. Ada yang mengungsi mandi, ada pula yang pasrah mandi dengan air keruh tersebut. Malam harinya, mereka memutuskan untuk tidur bersama-sama di ruang tamu menggunakan kasur yang sudah kering seadanya. Akhirnya mereka tidur berdempet-dempet kayak ikan pindang di dalam panci.
Hari kedua jadwal bersih-bersih mereka adalah mengepel lantai (tentu saja masih beberapa kali lagi sampai benar-benar bersih), dan mencuci dan menjemur barang-barang yang masih bisa terselamatkan. Itupun dilakukan seharian penuh tanpa istirahat. Hal tersebut masih berlangsung sampai hari rabu. Baru hari kamis, semuanya kembali normal, sekitar 90%., karena ubin-ubin yang pecah dan terlepas belum diperbaiki. Namun, mereka sudah bisa menempati kamar masing-masing dengan kondisi seperti semula.
Saat ini, hari Minggu, tepat satu minggu pasca banjir, kondisi kosan telah normal kembali. Memang, trauma itu masih ada. Setiap hujan, semuanya cemas dan bolak balik menengok sungai takut banjir datang lagi. Asal muasal banjir yang belum pernah terjadi sebelumnya itu adalah di kawasan Cibadoneng, ada yang membangun jembatan dengan menyempitkan badan sungai selebar 6 meter untuk membuat fondasi. Akibatnya, air yang mengalir deras karena hujan lebat, terhambat dan tersumbat karena penyempitan badan sungai tersebut, sehingga air meluap ke mana-mana. Semua pemilik kost di wilayah perwira pun mengadakan protes dan meminta jembatan tersebut di bongkar dan sungai dikembalikan seperti semula.
Begitulah kisah banjir bandang yang melanda kawasan Perwira-Dramaga Bogor. Anggaplah itu sebagai pengalaman pahit sekaligus berharga, karena selama ini mereka hanya melihat banjir di tv, namun sekarang mereka bisa merasakannya langsung tanpa harus melihat di tv. Mungkin ini juga lagi rejekinya tukang laundry. Karena semua barang yang terkena banjir langsung dimasukin ke tukang laundry karena mereka sudah tidak sanggup lagi mencucinya. Alhasil tukang laundry menjadi kelarisan karena setiap orang hampir melaundry sebanyak 20 kilo-an. Siapa tahu juga itu bisa menjadi kisah menarik buat anak cucu mereka nanti. O iya, ada yang ketinggalan. TV pun tidak dapat menyala karena terendam banjir. Alhasil mereka sekarang tidak dapat menonton tv.