Sabtu, 14 Mei 2011

korban




Aku berlari-lari menyeberangi jalan yang selalu macet ini. Rintik gerimis mengiringi langkahku yang terburu-buru menuju kafe tempatku janjian untuk bertemu Ridwan. Kulirik jam tanganku. Ah, sudah lima belas menit aku terlambat. Semoga kau masih bersabar menungguku, Wan. Akhirnya aku masuk ke kafe itu dan menemukan Ridwan yang sedang duduk menungguku.
“ Maaf, ya. Aku terlambat lagi. Kuliahnya ngaret,” jelasku sambil mengelap mukaku yang basah terkena gerimis dengan tissu.
“ Santai aja. Sibuk ya?” tanya Ridwan dengan senyumnya yang membuatku tenang.
“ Ya. Banyak kuliah pengganti sekarang. Kamu sendiri?”
“ Lumayan. Aku pesankan minum ya? Orange juice seperti biasa, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan. Aneh. Biasanya jika aku datang terlambat, Ridwan langsung pergi tanpa menungguku. Tapi kali ini dia sabar menunggu, tidak marah pula. Sudahlah. Refleks aku melempar tissuku tadi ke lantai. Seketika itu juga Ridwan memungut tissu itu kembali.
“ Jangan membuang sampah sembarangan, Fela!” katanya.
“ Ah, orang-orang yang lain juga begitu.”
“ Tapi kita bukan mereka. Bagaimanapun juga kita harus menjaga kebersihan.”
“ Ok ok. Aku ngerti. Maaf,” kataku kemudian karena apa yang dia katakan memang benar. Kemudian kami pun larut dalam pembicaraan yang lain.
Petang menjelang, kami pun segera membayar minuman dan pulang. Dalam perjalanan pulang, kami pun masih mengobrol. Ridwan adalah seseorang yang enak untuk diajak mengobrol. Apalagi jika topiknya adalah alam dan lingkungan. Dia adalah tipe orang yang sangat peduli dengan lingkungan. Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya di kampusku waktu universitasnya mengadakan kunjungan. Saat itu dia sedang kebingungan mencari tempat sampah untuk membuang bungkus rotinya. Memang, di kampusku yang besar itu, paling susah untuk menemukan tempat sampah. Waktu itu aku sangat takjub dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang bersikukuh untuk menemukan tempat sampah. Biasanya orang membuangnya begitu saja di sembarang tempat. Apalagi hanya bungkus roti. Akhirnya aku menunjukkan dimana sang Tempat Sampah berada. Hari itu, tanpa sengaja kami selalu bertemu. Aku senang sekali ketika dia menyapaku dan masih ingat namaku. Sampai akhirnya kami masih bersama sampai sekarang ini.
***
            Pagi-pagi ponselku sudah berbunyi dan membangunkanku.
            “ Halo?”
            “ Rafela, masih tidur ya?” kata Ridwan di seberang sana.
            “ Tadi malam begadang ngerjain makalah. Jadinya baru bangun deh. Pagi-pagi udah nelpon. Ada apa Wan?”
            “Hari ini aku mau ke Bandung. Ada kegiatan penanaman kembali hutan gundul. Kamu mau ikut?”
            “ Kayaknya asyik tuh,” kataku. Tapi aku teringat makalah yang harus kukumpulkan besok. “ Tapi sorry, makalahku belum beres.”
            “ Ya udah kalau gitu. Nggak apa-apa kok. Ntar sore aja kita ketemu di tempat biasa,” katanya kemudian.
            “ Ok. Sampai ketemu nanti sore,” kataku mengakhiri pembicaraan kami. Dasar Ridwan, dia pasti senang sekali dengan kegiatan itu. Semoga saja bermanfaat bagi semua umat manusia di dunia ini.
***
            Perjalanan hidup di dunia ini tidak dapat diduga. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi hari ini ataupun esok. Semua itu adalah rahasia Tuhan. Begitu juga sikap alam kepada manusia. Alam selalu bersikap baik dan memanjakan manusia dengan segala kemewahannya. Tapi ada kalanya alam menjadi monster yang siap melenyapkan manusia dengan segala kekuatannya. Mungkin ada hubungannya juga dengan sifat manusia yang selalu kurang puas. Pernah kutanyakan pada Ridwan, kenapa dia begitu peduli dangan alam dan lingkungan sekitar.
            “ Tuhan menciptakan alam semesta ini untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia ini, Fela. Jadi sudah sewajarnya kita memeliharanya. Itu juga demi kelangsungan hidup kita,” katanya. Ada benarnya juga omongannya. Kalau alam rusak, maka kita sendiri juga yang rugi.
            Kulihat arlojiku. Sudah dua puluh menit Ridwan telat dari waktu yang kami sepakati. Tidak biasanya dia terlambat. Di mana kamu, Ridwan? Kenapa kamu tidak kunjung datang. Apakah kegiatanmu belum selesai? Tidak mungkin. Kalau iya, pasti dia sudah menelepon. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar darinya.
Mendung tebal menyelimuti langit sore itu. Angin bertiup sangat kencang. Titik-titk hujan mulai turun. Tiba-tiba aku mendapat telepon dari Bunda. Aku sangat terkejut mendengar berita yang disampaikan Bunda. Aku segera mninggalkan kafe dan menuju rumah sakit. Tuhan, berikanlah kekuatan.
Ridwan terbaring di atas tempat tidur dengan selang-selang menghujam tubuhnya yang tidak bergerak. Bunda menangis di pelukan Ayah. Alam memberontak. Tempat Ridwan melakukan kegiatan telah longsor dan membuat Ridwan tak berdaya seperti sekarang. Tuhan, kenapa harus dia? Dia yang selama ini sangat mencintai anugerah-Mu? Kumohon selamatkan dia. Kalaupun Kau ambil dia, jangan biarkan dia merasa sakit. Dia orang yang berhati mulia.
***
            Titik-titik gerimis ikut mengantarkan Ridwan ke peristirahatan terakhirnya. Langit yang mendung dan gerimis seolah-olah menunjukkan alam ikut berduka atas gugurnya pahlawan mereka. Kutatap gundukan tanah merah yang bertabur bunga itu. Sejak kemarin aku tidak menangis. Air mataku tidak bisa keluar. Aku hanya berusaha menerima kenyataan yang terjadi. Ridwan yang selama ini sangat mencintai kelestarian alam pada akhirnya gugur ditengah-tengah perjuangannya menyelamatkan alam ini dari kerusakan. Memang, sikap alam tidak bisa ditebak. Terkadang dia murka tanpa memandang siapa yang akan dicelakainya. Tapi semua itu adalah ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya orang yang tak bersalah pun harus menanggung akibatnya. Semoga dengan peristiwa ini dapat membuat mereka sadar sehingga tidak ada Ridwan-Ridwan lain yang menjadi korban.
            Bunda masih menangis di pelukan Ayah. Ayah pun berusaha tegar menerima kepergian putra semata wayangnya. Papa dan Mama berdiri di antara aku, Bunda, dan Ayah. Tinggal kami berlima yang masih berdiri di sini. Para kerabat sudah pulang. Hanya kesunyian yang menghubungkan kami dengan Ridwan.
Selamat jalan, Ridwan.
Alam pasti bahagia menerimamu di dalam sana.

4 komentar:

  1. yaaaah kok mati ridwannya??
    keren2,, gak duga kalau ridwan bakalan mati

    btw itu ttg makalah, dan tempat sampah pengalaman pribadi yaa?? ahaha,

    BalasHapus
  2. ah ...serba dramatis... suara hati..ye wwkwk

    BalasHapus